Selasa, 27 Maret 2018

Gamers: Generasi Anti Sosial?



Bermain game nampaknya sudah menjadi budaya yang melekat bagi sebagian besar masyarakat di seluruh dunia. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa seakan telah kecanduan bermain game, terlebih kini dengan hadirnya gadget membuat frekuensi munculnya game dengan berbagai jenis semakin meningkat, seperti game racingsportrole-playingfighting dan puzzle. Tak mengherankan jika sekarang kita sering menemui anak-anak dibawah umur yang sudah mahir dalam bermain game, khususnya game online. Game online merupakan sebuah permainan yang dapat diakses oleh beberapa pemain, dengan menggunakan mesin-mesin yang dihubungkan oleh internet (Adams & Rollings, 2007). Jika pada zaman dulu, setiap sore banyak anak-anak yang berkumpul untuk bermain permainan tradisional bersama-sama, seperti sunda manda, gobak sodor, petak umpet, dan sebagainya, kini pemandangan tersebut sudah tergantikan oleh banyaknya anak-anak yang berkumpul untuk saling beradu game online lewat smartphone yang mereka miliki.

Sebagaimana data penelitian yang telah dilakukan oleh Unity Technologies terkait perkembangan pasar game mobile dunia sepanjang tahun 2016. Dalam laporan penelitian kerjasama antara Unity Technologies dengan perusahaan analitik SuperData itu disebutkan bahwa pemasukan industri game mobile global telah mencapai US$40,6 miliar atau sekitar Rp 541 triliun pada tahun 2016. Data hasil laporan penelitian tersebut telah membuktikkan bahwa terjadi peningkatan sebesar lima belas persen dari pencapaian tahun sebelumnya yang menyentuh angka  US$ 34,8 miliar atau sekitar Rp 480 triliun. Salah satu faktor terjadinya peningkatan industri game mobile global ini disebabkan oleh pertumbuhan angka pendapatan dari platform Android, yang mengalami kenaikan hingga 32 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Meningkatnya game mobile tersebut bukan hanya terjadi di luar negeri saja, justru di Indonesia sendiri permainan game online yang didominasi oleh anak-anak sebagai pemainnya kini sudah menjamur hingga ke berbagai daerah. Hal itu dibuktikkan dengan prediksi Badan Ekonomi Kreatif Indonesia bahwa nilai pasar game di Indonesia akan mengalami peningkatan yang pesat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2016, pasar game yang ada di Indonesia hampir menembus angka US$700 juta atau jika dirupiahkan sekitar Rp 9,3 triliun. Game online muncul pertama kali di Indonesia tahun 2001 melalui Nexian Online yang kemudian dikembangkan lagi hingga pada saat ini telah banyak beredar game online dengan berbagai jenis. Meningkatnya pasar game online di Indonesia tersebut menyebabkan masyarakat Indonesia yang semakin sering mengkonsumsi game online bahkan telah sampai pada tahap kecanduan. Seperti yang dijelaskan oleh Director PT. Megaxus Infotech dalam peluncuran Heroes of Atarsia, Eva Mulawati. Ia menjelaskan bahwa jumlah pemain game online di Indonesia meningkat antara 5%-10% setiap tahunnya, salah satu faktor penyebab dari bertambahnya pemain game online, atau yang kini lebih akrab disebut dengan gamers, yaitu karena semakin pesatnya infrastruktur internet di dunia, khususnya di Indonesia.

Namun tahukah kalian dengan semakin berkembangnya pasar game online di Indonesia sebagai sarana hiburan ternyata telah membawa berbagai dampak negatif yang tidak sedikit, lho. Bermain game online secara berlebihan atau jika sudah sapai pada taraf kecanduan tentunya akan membawa kerugian bagi diri sendiri dan orang lain, baik secara materiil maupun nonmateriil. Terlebih kini peminat game online sendiri lebih banyak anak-anak hingga remaja yang daya mentalnya masih dibilang labil. Efek negatif yang ditimbulkan oleh para pecandu game online atau gamers, antara lain yaitu berbahaya bagi kesehatan tubuh yang dibuktikkan dengan banyaknya penemuan studi klinis tentang fenomena ‘Nintendo Elbow’ dan epilepsi yang disebabkan game komputer (Griffiths, 1996). Kemudian, efek yang kedua yaitu meningkatnya perilaku kekerasan dalam video game yang ditiru oleh anak-anak. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat dari Provenzo (1991) bahwa semakin ‘realistis’ efek gambar dalam game dan website, maka akan semakin mendukung anak untuk meniru perilaku tersebut.

Selain kedua efek negatif di atas, ternyata masih ada satu lagi dampak dari kecanduan game online yang paling menonjol, khususnya di kalangan anak-anak yaitu perilaku yang cenderung mengarah pada perilaku anti sosial, seperti yang dikemukakan oleh Tobin (1998) bahwa perkembangan teknologi dan penggunaan secara terus menerus akan menyebabkan anak-anak menjadi berperilaku apatis atau anti sosial yang tidak memiliki kepedulian terhadap sekelilingnya. Selain itu, hubungan antara norma sosial yang dimiliki anak-anak menjadi renggang sehingga interaksi antara orang tua dengan anak juga mengalami kekacauan. Anak-anak juga akan lebih menyukai dan memilih untuk berinteraksi serta menjalin hubungannya dengan orang-orang baru melalui dunia virtualnya. Pendapat dari Tobin (1998) tersebut rupanya bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh University of Queensland. Penelitian ini membagi 160 objek penelitian dengan rentang usia sekitar 17-43 tahun ke dalam empat kelompok game untuk dimainkan secara acak. Kelompok pertama yaitu memainkan game anti-sosial (GTA IV), kelompok kedua memainkan game berjenis kekerasan (COD: Black Ops Zombie Mode)kelompok ketiga memainkan game tanpa kekerasan (Portal 2) dan kelompok terakhir memainkan game pro-sosial (World of Goo) selama 20 menit. Setelah permainan berakhir, objek penelitian tersebut mengikuti tes mengenai kemampuan sosial mereka. Dengan hasil yang mengejutkan, penelitian ini membuktikan bahwa baik game yang mengandung kekerasan maupun tanpa kekerasan tidak membawa dampak yang cukup signifikan terhadap perilaku sosial mereka di masyarakat.

Dengan adanya dua perbandingan perbedaan pendapat di atas, maka bagaimanapun dampak dari penggunaan game online terhadap perilaku serta kepribadian pemainnya (gamers), khususnya di kalangan anak-anak, semuanya tergantung dari bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh para orang tua, dan kerabat dekatnya terhadap intensitas penggunaan game online yang dimainkan oleh anak-anak. Hal tersebut terjadi karena orang tua memiliki peran yang cukup besar pada tumbuh kembang anak, baik itu berupa pengawasan orang tua terhadap aktivitas anaknya, maupun perilaku orang tua yang mudah ditirukan oleh anak-anak.

Jadilah generasi bijak, dan mulailah peduli dengan lingkunganmu



DAFTAR PUSTAKA

Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consquences of ITCs, Sage Publication Ltd. London.  

Maulana, Rizky. “Tingkat Perkembangan Pasar Game Mobile Indonesia Tiga Kali Lipat Amerika Serikat”. https://id.techinasia.com/perkembangan-pasar-game-indonesia-salah-satu-yang-tertinggi-di-2016, Diakses pada Selasa 27 Maret 2018.

Herudin. “Ada 25 Juta Orang Indonesia Doyan Main Game Online”. http://www.tribunnews.com/iptek/2014/01/31/ada-25-juta-orang-indonesia-doyan-main-game-online, Diakses pada Selasa 27 Maret 2018.

Santoso, Pladidus. “Penelitian: Game Kejam Tak Buat Gamer Jadi Anti Sosial”. http://jagatplay.com/2013/07/news/penelitian-game-kejam-tak-buat-gamer-jadi-anti-sosial/, Diakses pada Selasa 27 Maret 2018.

Senin, 19 Maret 2018

Digital Divide Bagi Kaum Tuna Netra



Di era digitalisasi yang kian marak dimanfaatkan oleh hampir seluruh masyarakat di setiap negara. Kemudahan mengakses informasi melalui teknologi internet ini berdampak juga terhadap mudahnya mengatasi permasalahan dikehidupan sehari-hari dengan waktu yang singkat. Setiap orang kini seakan-akan memiliki kesempatan untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya dengan menggunakan teknologi internet. Namun, ditengahnya keramaian dunia digitalisasi sadarkah kalian bahwa terdapat satu kelompok tertentu yang masih belum memiliki kesempatan yang ‘sama besarnya’ untuk memanfaatkan teknologi komunikasi dan akses jaringan internet saat ini? Ya, kelompok tersebut adalah kaum difabel atau kelompok penyandang berkebutuhan khusus. Kata difabel yang merupakan kepanjangan dari kata different ability people atau yang bisa diartikan sebagai ‘masyarakat yang berdaya beda’, menurut WHO (World Health Organization) adalah istilah yang meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Kaum tuna netra yang akan dibahas dalam topik kali ini juga termasuk dalam kelompok difabel, karena seseorang yang menyandang tuna netra memiliki keterbatasan fisik khususnya dalam indra penglihatan. Kelompok difabel sendiri memiliki jenis dan kategori yang berbeda-beda, antara  lain yaitu
1.      Tuna netra, seseorang yang memiliki keterbatasan pada indra penglihatan,
2.      Tuna daksa, yaitu seseorang yang memiliki keterbatasan pada anggota gerak,
3.      Tunarungu, yaitu seseorang yang memiliki keterbatasan terhadap indra pendengaran,
4.      Tuna wicara, seseorang yang memiliki keterbatasan fisik dalam berbicara, dan
5.      Tuna grahita, yaitu seseorang yang memiliki keterbatasan mental.
Kesulitan mendapatkan informasi melalui media internet yang dirasakan oleh kelompok difabel di atas tentu berdampak pada munculnya kesenjangan teknologi (digital divide) antara kaum difabel dengan masyarakat biasa yang mungkin lebih beruntung dalam kesempurnaan fisik. Istlah kesenjangan teknologi atau digital divide pertama kali diperkenalkan oleh sebuah badan pemerintah federal AS yang mengurusi bidang telekomunikasi dan informasi yang terdapat di dalam laporannya  The National Telecommunication and Information Administration (NTIA) dan membagi warga di suatu negara dibagi menjadi dua jenis, yaitu mereka yang ‘memiliki’ akses terhadap teknologi komunikasi dan mereka yang ‘tidak memiliki’ akses yang sama terhadap teknologi komunikasi, seperti yang dialami oleh para kaum difabel. Kesenjangan teknologi yang dirasakan oleh kaum difabel tersebut pasti berdampak pada psikologis mereka, yaitu munculnya rasa kecemburuan sosial. Selain itu, dampak lainnya dari kesenjangan teknologi digital di suatu negara yaitu minimnya pengetahuan, khususnya para kaum difabel yang tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya melalui media internet. Permasalahan tentang kesempatan untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya sebenarnya sudah diatur oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam pasal 14 Undang-Undang yang berbunyi:
1.      Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
2.      Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.
Bahkan pemerintah juga membuat undang-undang tersendiri khusus bagi para kaum difabel, khususnya kaum tuna netra yang akan menjadi topik pembahasan ini. Undang-undang tersebut ialah UU No. 4 Pasal 5 tahun 1997  “Setiap penyandang cacat memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam setiap aspek kehidupan dan penghidupan”. Selain itu, dibuat juga Undang-undang Telekomunikasi bagian 225 yang mewajibkan penyedia layanan dan peralatan telekomunikasi memproduksi barang atau jasanya agar bisa diakses oleh individu penyandang disabilitas. Dengan dibuatnya undang-undang perlindungan kaum difabel tersebut seharusnya dapat membuka kesempatan yang luas bagi kelompok difabel, khususnya kaum tuna netra. Namun, sepertinya pemerintah Indonesia dan masyarakatnya sendiri masih belum menyadari betapa pentingnya kemudahan teknologi bagi para difabel, terlebih kin semakin majunya dunia digitalisasi dan teknologi diharapkan dapat membantu menciptakan sebuah inovasi khusus bagi para difabel.  
Jika mungkin beberapa waktu yang lalu sempat viral sebuah berita tentang seorang youtuber yang menjadi inspirasi bagi para youtuber lainnya untuk melengkapi video hasil karya mereka dengan menambahkan subtitle di bawahnya maka akan mempermudah penyandang tuna rungu agar mereka dapat memahami setiap pesan yang disampaikan setiap youtuber dalam video yang mereka unggah. Bahkan pada tahun 1990 American Disabilities Act telah memebuat sebuah perencanaan untuk mengurangi keterbatas tersebut dengan mewajibkan layanan penyediaan akses komunikasi untuk orang tua tuna rungu di Amerika bagi semua operator jaringan (Borchert, 1998). Lantas, pernahkah kalian berfikir bagaimana dengan nasib tuna netra yang memiliki keterbatasan indra penglihatan dan menginginkan hal serupa, yaitu menndapat informasi melalui jaringan internet padahal sebagian besar informasi yang ada di media internet berupa tulisan dan gambar? Salah satu cara yang sudah kita ketahui untuk membantu kaum tuna netra dalam memperoleh informasi yaitu melalui buku bacaan yang mengandung huruf braille. Namun, kini kita dapat membayangkan betapa masih minimnya atau bahkan mungkin belum ada tulisan-tulisan informasi yang ada di internet dengan menggunakan huruf braille sehingga para tuna netra bisa ikut membacanya juga. Selain itu, perpustakaan di berbagai sekolah dan universitas juga masih belum memiliki akses serupa bagi para tuna netra. Hal tersebut menyebabkan kaum tuna netra merasa kesulitan untuk memperoleh pengetahuan di sekolah maupun universitas umum.
Di samping masih minimnya kesadaran akan kepedulian terhadap kaum difabel serta belum tersedinya layanan khusus bagi penyandang disabilitas yang ingin merasakan kemajuan teknologi dan kemudahan informasi, muncul sebuah inovasi penyelenggaraan fasilitas khusus difabel yang diberi nama Difabel Corner yang datang dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Fasilitas Difabel Corner tersebut dibuat dengan tujuan untuk memudahkan mahasiswa difabel, khususnya mahasiswa tua netra yang selama ini merasa kesulitan mendapatkan pengetahuan, baik melalui buku bacaan di perpustakaan maupun di media internet. Di dalam Difabel Corner terdapat Al qur’an dalam huruf braille, digital talking book agar para tuna netra dapat mendengarkan apa saja isi yang ada di dalam buku tersebut, dan alat bantu teknologi komputer yang dilengkapi Jaws (pembaca layar) untuk membantu tuna netra dalam mencari menu dan memudahkan mengakses buku di dalam komputer, scanner dan software open book atau software optic character recognation (OCR) yang dapat digunakan oleh para tuna netra untuk memindai buku yang mereka pinjam di perpustakaan atau yang mereka bawa dari rumah menjadi dokumen dalam softfile, lalu dokumen softfile tersebut akan diubah menjadi digital talking book yang dapat didengarkan oleh para tuna netra sewaktu-waktu. Inovasi tersebut diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi pemerintah, masyarakat maupun instansi pendidikan lainnya agar turut berpartisipasi terhadap kepedulian mengatasi kesenjangan teknologi yang dirasakan oleh kaum difabel.

DAFTAR PUSTAKA

Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consquences of ITCs, Sage Publication Ltd. London.

Utami, Nadia Wasta. “Gelap dalam Gemerlap Kesenjangan Informasi Para Difabel di Era Globalisasi”.https://www.academia.edu/5404179/Gelap_dalam_Gemerlap_kesenjangan_akses_informasi_difabel_di_tengah_era_digitalisasi?ends_sutd_reg_path=true, Diakses pada Selasa, 20 Maret 2018.

Selasa, 13 Maret 2018

IDENTITAS PALSU DALAM KOMUNITAS VIRTUAL, BERBAHAYA KAH?


Komunitas Virtual muncul dan semakin meluas akibat perkembangan teknologi komunikasi. Perkembang pesat serta maraknya komunitas virtual di era millenial ini sangat dipengaruhi oleh kemajuan akses internet yang pesat. Komunitas virtual sendiri dicetuskan pertama kali oleh Howard Rheingold, yaitu seorang kritikus terkenal, penulis, dan seorang guru kelahiran Phoenix, Arizona dalam bukunya yang berjudul “The Virtual Community: Homesteading on the Electronic Frontier (2000). Ia menjelaskan bagaimana karakteristik dari orang-orang di komunitas virtual yang melakukan interaksi, saling bertukar pesan, atau bahkan bisa saling merasakan permusuhan dan jatuh cinta hanya melalui media yang terhubung jaringan internet saja.
Namun, yang menjadi perbedaan antara komunitas virtual dengan komunitas biasa atau komunitas organik ialah orang-orang yang tergabung didalamnya hanya dapat berinteraksi melalui media tanpa bisa merasakan sentuhan dan bau lawan bicara mereka. Orang-orang yang terlibat dalam komunitas virtual merupakan orang-orang yang tidak dapat dipastikan secara jelas siapa identitas asli mereka, berapa usianya, bagaimana wajahnya, bagaimana bentuk tubuh dan fisik mereka sebenarnya sebab dengan semakin canggihnya teknologi dan semakin bertambah kemampuan masyarakat dalam mengelola teknologi, kini banyak sekali masyarakat yang menyembunyikan atau memalsukan identitas mereka dalam suatu kelompok di dunia maya. Komunitas Virtual memberikan peluang lebih orang-orang dapat berinteraksi dalam suatu kelompok tanpa perlu khawatir terhadap batas-batas ruang dan waktu.
Meskipun anggota komunitas virtual dapat dikatakan bersifat heterogen karena terdiri dari orang-orang yang berasal dari berbagai macam daerah serta kebudayaan, tetapi kini kita dapat mengamati bagaimana orang-orang lebih menyukai kedekatan dan kenyamanan mereka berada di komunitas virtual dibandingkan dengan berada di komunitas organik atau komunitas nonvirtual. Sebagian masyarakat banyak yang menganggap bahwa komunitas virtual merupakan sebuah komunitas yang sifatnya semu. Komunitas virtual seakan tidak nyata dan tidak pernah ada, atau hanya dianggap sebagai ilusi yang diciptakan akibat interaksi yang dilakukan melalui media internet. Namun, kini banyak masyarakat yang telah menyadari bagaimana interaksi dan hubungan yang terjalin dalam komunitas virtual merupakan hal yang sangat nyata. Kedekatan hubungan yang terjalin, besarnya intensitas interaksi yang terjalin antar anggota di komunitas virtual dapat menghasilkan sebuah rasa kenyamanan sehingga para anggotanya menganggap bahwa kedekatan mereka di dunia cyber, terutama di komunitas virtual, bukanlah hal yang semu.
Komunitas virtual yang memiliki ikatan erat terhadap dunia cyber, memungkinkan setiap anggotanya dapat bergerak dan berperilaku secara bebas. Pasalnya, di ruang cyber lah orang-orang bisa mengkonstruksi bagaimana dirinya dan identitasnya akan dibentuk menjadi siapapun yang mereka inginkan.selain itu, dunia cyber telah meningkatkan kemampuan masyarakat millennial untuk mengkreasikan bagaimana perilakunya sehingga setiap individu dapat berperilaku sesuai dengan peran yang mereka bentuk di dunia maya. Oleh karena itu, tak heran jika kini banyak sekali orang yang menciptakan sendiri identitas dirinya di dunia maya, khususnya jika tergabung dalam suatu komunitas virtual. Identitas individu di komunitas virtual itu ada yang sesuai dengan identitas aslinya di dunia nyata, maupun identitas yang jauh berbeda dengan identitas aslinya di dunia nyata, atau dengan kata lain melakukan pemalsuan identitas.
Hal itu sesuai dengan pendapat dari Tim Jordan (1999, 62-87) yang menjelaskan bahwa terdapat tiga pokok dasar kekuatan dari setiap individu dalam komunitas virtual di dunia cyber. Ketiga pokok kekuatan tersebut, antara lain yaitu identity fluidity, yaitu identitas yang dibentuk oleh individu secara virtual yang tidak sama persis atau hanya mendekati identitas aslinya di dunia nyata, renovated hierarchies, yaitu sebuah proses yang menciptakan sebuah hierarki di dunia nyata untuk dibentuk kembali dalam dunia virtual, dan yang terakhir yaitu informational space, merupakan sebuah informasi yang dihasilkan untuk menggambarkan bagaimana realita yang hanya ada di dunia virtual.
Jika berbicara mengenai tentang identitas palsu pada komunitas virtual,mungkin masih banyak masyarakat yang belum percaya tentang terjadinya fenomena ini. Namun, jika diamati lebih lanjut, maka fenomena pemalsuan identitas di suatu komunitas virtual tersebut ternyata sudah merebak di masyarakat dan belum diketahui banyak orang. Terjadinya fenomena tersebut berkaitan dengan pengalaman menarik yang pernah saya alami beberapa waktu lalu. Pengalaman tersebut menimpa dua teman dekat saya, dimana satu orang berperan sebagai pelaku pemalsu identitas, sedangkan teman saya yang lainnya merupakan korban pemalsuan identitas tersebut.
Jauh sebelum saya memiliki pemahaman mengenai komunitas virtual, teman saya membagikan ceritanya pada saya bahwa ia baru saja mengalami penipuan identitas. Kejadian tersebut berawal dari pertemuannya dengan seorang perempuan yang membuat ia tertarik di sebuah media sosial, twitter. Pertama teman saya melihat akun twitter wanita tersebut pada kolom rekomendasi followers di akun twitter-nya. Melihat foto profil yang dipasang melalui akun wanita tersebut sangat cantik dan menarik membuat hubungan keduanya berlanjut lebih jauh. Teman saya, mulai mengikuti akun twitter wanita itu kemudian mengirim pesan melalui direct message di twitter. Setelah keduanya berinteraksi melalui direct message selama hampir satu minggu lamanya, teman saya merasa tertarik dengan wanita tersebut. Saat ia akan meminta nomor telepon agar hubungan mereka dapat terjalin lebih intim, tiba-tiba akun wanita tersebut hilang. Kemudian ia berusaha mencari kemana akun wanita tersebut, ternyata secara mengejutkan akun itu berganti menjadi akun twitter sebuah online shop. Akun tersebut ternyata merupakan akun bodong atau akun palsu yang menggunakan foto serta identitas orang lain yang dikelola oleh beberapa orang untuk mendapatkan followers sebanyak-banyaknya untuk kemudian dijual dengan harga tinggi. Semakin banyak followers yang diperoleh maka harga jualnya akan semakin tinggi. Pembeli akun bodong tersebut biasanya adalah para pengusaha di dunia online (online shop), sebab semakin banyak followers yang dimilikinya, maka semakin menarik minat dan kepercayaan pembeli.
Sedangkan teman saya yang berperilaku sebagai pelaku pemalsu identitas, melakukan berbagai cara agar dirinya dapat tampil menarik di dunia maya. Sebelum ia berinteraksi dengan orang-orang di sebuah media sosial, ia mengedit fotonya terlebih dahulu menjadi lebih kurus dan putih sebelum dijadikan foto profil. Setelah saya menanyakan mengapa ia terus melakukan hal tersebut, ia mengatakan bahwa dirinya hanya dapat tampil percaya diri jika berhadapan di dunia maya. Orang-orang di dunia virtual akan merasa tertarik dan mengelilingi dirinya jika ia memiliki penampilan fisik seperti identitas yang telah ia ciptakan di dunia virtual.
Kedua contoh pengalaman di atas dapat memberikan pelajaran tentang seberapa jauh bahaya yang dapat ditimbulkan akibat pemalsuan identitas di komunitas virtual. Selama para pelaku tidak merugikan orang lain, maka hal itu tidak perlu dirisaukan. Tetapi sebelum hal yang merugikan terjadi, maka sebaiknya kita mengenali lebih jauh agar tidak mengalami penipuan.



DAFTAR PUSTAKA

Arul. "Identitas Virtual di Internet". https://www.kompasiana.com/kangarul/identitas-virtual-di-internet_54ffcac2a33311ea4a5115df. Diakses pada, Selasa, 13 Maret 2018.


Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consquences of ITCs, Sage Publication Ltd. London.



Senin, 12 Maret 2018

ANALISIS FILM DOKUMENTER “AKU INGIN SEKOLAH (LAGI)”



Sinopsis Film

Produser                : Galih Alfin
Sutradara               : Devia Heryanto
Videographer        : Rival Cepas
Editor                    : Slamet Ibnu
Musik                    : Waves by Mattia Cupelli
Label Produksi      : SJC Production dan OneLabelfmIndonesia
Tahun Rilis            : 2017
Aktor                     : Muhammad Vijay Mahendra, Yudi Yana.
Film dokumenter “Aku Ingin Sekolah (Lagi)” ini menggambarkan contoh perjalanan kehidupan dua dari sekian banyak anak di Indonesia yang terpaksa harus mengalami putus sekolah karena dilatarbelakangi oleh berbagai permasalahan, salah satu permasalahan yang paling dominan adalah masalah ekonomi. Diawali dari perjuangan hidup seorang anak penjual tas kresek di sebuah pasar, bernama Vijay hingga ke perjalanan kehidupan yang kedua seorang anak pedagang pakaian di pasar tradisional, bernama Yudi. Keduanya memiliki probelamtika yang sama, yaitu harus mengalami putus sekolah sejak kecil karena kesulitan ekonomi yang dihadapi keluargnya. Keduanya juga sama-sama bekerja keras mencari penghasilan untuk makan dan kehidupan sehari-hari keluarganya. Dari film ini mengajarkan bagaimana pemerintah seharusnya bisa sadar dan membantu anak-anak di Indonesia yang harus putus sekolah.

            Analisis Film
Dari film dokumenter di atas, terdapat banyak sekali aspek yang dapat dianalisis, di antaranya yaitu aspek lingkungannya, lokasi pembuatan film, perangkat atau peralatan yang digunakan, wardrobe yang dipakai, backsound dalam film tersebut.

Aspek Lingkungan Dalam Film
Dalam film “Aku Ingin Sekolah (Lagi)” menunjukkan lingkungan yang cukup menonjol, dimana pengambilan setiap gambar atau scene dalam film selalu berada di sebuah pasar sepeti yang terlihat pada scene menit ke 01:49

Pengambilan gambar tersebut menggambarkan lingkungan yang sesuai dengan isi film. Hal itu menunjukkan meskipun berada di antara sesak dan ramainya orang yang berlalu lalang di pasar, kita dapat melihat Vijay yang terus bekerja keras mencari uang dengan menawarkan barang dagangannya berupa tas kresek dari satu pembeli ke pembeli lainnya, bahkan ia juga menawarkan jasanya untuk membawakan barang para pembeli yang cukup berat.


Sedangkan pada menit ke 02:55, terlihat bagaimana Yudi yang sedang berusaha seorang diri menawarkan serta menjual dagangannya kepada banyaknya orang yang pada saat itu ramai mengunjungi lapak daganganYudi.
Aspek Lokasi Dalam Film

Pasar yang dijadikan sebagai tempat pengambilan gambar pada film dokumenter di atas menurut saya merupakan lokasi yang sangat tepat. Hal itu disebabkan karena lokasi pembuatan film di sebuah pasar sangat sesuai dengan tema atau isi pada film dokumenter ini yang menceritakan tentang perjuangan seorang anak korban putus sekolah dan kini tengah bekerja keras mencari nafkah bagi keluarganya tanpa harus meminta-minta atau menjadi pengemis di jalanan. Lokasi pasar yang diambil pada film ini yaitu Pasar Ciwangi dan Pasar Pelita, Sukabumi.


Aspek Perangkat dan Peralatan yang Digunakan

Berdasarkan pengamatan saya terhadap film dokumenter “Aku Ingin Sekolah (Lagi)” , saya dapat menganalisis berbagai peralatan maupun perlengkapan yang digunakan untuk menunjang isi pesan dalam film tersebut agar lebih mudah tersampaikan. Hal itu ditunjukkan pada scene menit ke 01:10 dimana terlihat tas kresek yang digenggam Vijay dan hendak ia jual kepada para pembeli di pasar.

Menurut saya, tas kresek yang ada digenggaman Vijay tersebut merupakan peralatan yang paling menonjol, sebab peralatan itu lah yang menunjukkan bahwa Vijay adalah seorang pedagang tas kresek. Sedangkan pada scene menit ke 02:58, terlihat peralatan dan perlengkapan lainnya yang paling menonjol, yaitu jaket yang digantung di tembok pasar menunjukkan bahwa Yudi merupakan seorang anak pekerja keras yang menjual jaket seorang diri kepada para pembeli di pasar.

 Wardrobe yang Dipakai
Wardrobe merupakan pakaian atau kostum yang digunakan para pemain di dalam film. Wardrobe atau kostum yang dipakai Vijay dan Yudi sebagai pemeran utama dalam film ini  memiliki kesamaan yaitu keduanya mengenakan kaos yang sudah terlihat lusuh dan celana jeans santai yang menunjukkan kesederhanaan anak-anak yang sedang bekerja mencari nafkah dengan berdagang di pasar. Vijay juga mengebnakan topi berwarna merah bergambar yang semakin menunjukkan gambaran anak laki-laki pada umumnya.

            Aspek Suara atau Backsound Dalam Film
Backsound merupakan rekaman lagu atau musik untuk mengiringi dan menyelaraskan gambar-gambar pada film. Musik memberikan pengaruh yang cukup besar karena dengan adanya pemilihan musik yang tepat, mka para penonton dapat lebih menghayati isi pesan yang disampaikan di dalam film. Pada film dokumenter “Aku Ingin Sekolah (Lagi)”, latar belakang musik yang digunakan yaitu narasi yang disampaikan oeleh Vijay sebagai pemeran utama yang diirngi dengan instrument music yang tidak terlalu mellow sehingga dapat membangkitkan rasa semangat para penonton atas perjuangan yang dilakukan kedua pemeran dalam film tersbeut. Selain itu, menurut saya backsound yang paling menonjol dan paling menarik sehingga membuat film ini terlihat berbeda dari film biasanya yaitu teriakan para penjual yang sedang menawarkan barang dagangan mereka hampir di setiap menit di dalam film.