Senin, 19 Maret 2018

Digital Divide Bagi Kaum Tuna Netra



Di era digitalisasi yang kian marak dimanfaatkan oleh hampir seluruh masyarakat di setiap negara. Kemudahan mengakses informasi melalui teknologi internet ini berdampak juga terhadap mudahnya mengatasi permasalahan dikehidupan sehari-hari dengan waktu yang singkat. Setiap orang kini seakan-akan memiliki kesempatan untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya dengan menggunakan teknologi internet. Namun, ditengahnya keramaian dunia digitalisasi sadarkah kalian bahwa terdapat satu kelompok tertentu yang masih belum memiliki kesempatan yang ‘sama besarnya’ untuk memanfaatkan teknologi komunikasi dan akses jaringan internet saat ini? Ya, kelompok tersebut adalah kaum difabel atau kelompok penyandang berkebutuhan khusus. Kata difabel yang merupakan kepanjangan dari kata different ability people atau yang bisa diartikan sebagai ‘masyarakat yang berdaya beda’, menurut WHO (World Health Organization) adalah istilah yang meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Kaum tuna netra yang akan dibahas dalam topik kali ini juga termasuk dalam kelompok difabel, karena seseorang yang menyandang tuna netra memiliki keterbatasan fisik khususnya dalam indra penglihatan. Kelompok difabel sendiri memiliki jenis dan kategori yang berbeda-beda, antara  lain yaitu
1.      Tuna netra, seseorang yang memiliki keterbatasan pada indra penglihatan,
2.      Tuna daksa, yaitu seseorang yang memiliki keterbatasan pada anggota gerak,
3.      Tunarungu, yaitu seseorang yang memiliki keterbatasan terhadap indra pendengaran,
4.      Tuna wicara, seseorang yang memiliki keterbatasan fisik dalam berbicara, dan
5.      Tuna grahita, yaitu seseorang yang memiliki keterbatasan mental.
Kesulitan mendapatkan informasi melalui media internet yang dirasakan oleh kelompok difabel di atas tentu berdampak pada munculnya kesenjangan teknologi (digital divide) antara kaum difabel dengan masyarakat biasa yang mungkin lebih beruntung dalam kesempurnaan fisik. Istlah kesenjangan teknologi atau digital divide pertama kali diperkenalkan oleh sebuah badan pemerintah federal AS yang mengurusi bidang telekomunikasi dan informasi yang terdapat di dalam laporannya  The National Telecommunication and Information Administration (NTIA) dan membagi warga di suatu negara dibagi menjadi dua jenis, yaitu mereka yang ‘memiliki’ akses terhadap teknologi komunikasi dan mereka yang ‘tidak memiliki’ akses yang sama terhadap teknologi komunikasi, seperti yang dialami oleh para kaum difabel. Kesenjangan teknologi yang dirasakan oleh kaum difabel tersebut pasti berdampak pada psikologis mereka, yaitu munculnya rasa kecemburuan sosial. Selain itu, dampak lainnya dari kesenjangan teknologi digital di suatu negara yaitu minimnya pengetahuan, khususnya para kaum difabel yang tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya melalui media internet. Permasalahan tentang kesempatan untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya sebenarnya sudah diatur oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam pasal 14 Undang-Undang yang berbunyi:
1.      Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
2.      Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.
Bahkan pemerintah juga membuat undang-undang tersendiri khusus bagi para kaum difabel, khususnya kaum tuna netra yang akan menjadi topik pembahasan ini. Undang-undang tersebut ialah UU No. 4 Pasal 5 tahun 1997  “Setiap penyandang cacat memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam setiap aspek kehidupan dan penghidupan”. Selain itu, dibuat juga Undang-undang Telekomunikasi bagian 225 yang mewajibkan penyedia layanan dan peralatan telekomunikasi memproduksi barang atau jasanya agar bisa diakses oleh individu penyandang disabilitas. Dengan dibuatnya undang-undang perlindungan kaum difabel tersebut seharusnya dapat membuka kesempatan yang luas bagi kelompok difabel, khususnya kaum tuna netra. Namun, sepertinya pemerintah Indonesia dan masyarakatnya sendiri masih belum menyadari betapa pentingnya kemudahan teknologi bagi para difabel, terlebih kin semakin majunya dunia digitalisasi dan teknologi diharapkan dapat membantu menciptakan sebuah inovasi khusus bagi para difabel.  
Jika mungkin beberapa waktu yang lalu sempat viral sebuah berita tentang seorang youtuber yang menjadi inspirasi bagi para youtuber lainnya untuk melengkapi video hasil karya mereka dengan menambahkan subtitle di bawahnya maka akan mempermudah penyandang tuna rungu agar mereka dapat memahami setiap pesan yang disampaikan setiap youtuber dalam video yang mereka unggah. Bahkan pada tahun 1990 American Disabilities Act telah memebuat sebuah perencanaan untuk mengurangi keterbatas tersebut dengan mewajibkan layanan penyediaan akses komunikasi untuk orang tua tuna rungu di Amerika bagi semua operator jaringan (Borchert, 1998). Lantas, pernahkah kalian berfikir bagaimana dengan nasib tuna netra yang memiliki keterbatasan indra penglihatan dan menginginkan hal serupa, yaitu menndapat informasi melalui jaringan internet padahal sebagian besar informasi yang ada di media internet berupa tulisan dan gambar? Salah satu cara yang sudah kita ketahui untuk membantu kaum tuna netra dalam memperoleh informasi yaitu melalui buku bacaan yang mengandung huruf braille. Namun, kini kita dapat membayangkan betapa masih minimnya atau bahkan mungkin belum ada tulisan-tulisan informasi yang ada di internet dengan menggunakan huruf braille sehingga para tuna netra bisa ikut membacanya juga. Selain itu, perpustakaan di berbagai sekolah dan universitas juga masih belum memiliki akses serupa bagi para tuna netra. Hal tersebut menyebabkan kaum tuna netra merasa kesulitan untuk memperoleh pengetahuan di sekolah maupun universitas umum.
Di samping masih minimnya kesadaran akan kepedulian terhadap kaum difabel serta belum tersedinya layanan khusus bagi penyandang disabilitas yang ingin merasakan kemajuan teknologi dan kemudahan informasi, muncul sebuah inovasi penyelenggaraan fasilitas khusus difabel yang diberi nama Difabel Corner yang datang dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Fasilitas Difabel Corner tersebut dibuat dengan tujuan untuk memudahkan mahasiswa difabel, khususnya mahasiswa tua netra yang selama ini merasa kesulitan mendapatkan pengetahuan, baik melalui buku bacaan di perpustakaan maupun di media internet. Di dalam Difabel Corner terdapat Al qur’an dalam huruf braille, digital talking book agar para tuna netra dapat mendengarkan apa saja isi yang ada di dalam buku tersebut, dan alat bantu teknologi komputer yang dilengkapi Jaws (pembaca layar) untuk membantu tuna netra dalam mencari menu dan memudahkan mengakses buku di dalam komputer, scanner dan software open book atau software optic character recognation (OCR) yang dapat digunakan oleh para tuna netra untuk memindai buku yang mereka pinjam di perpustakaan atau yang mereka bawa dari rumah menjadi dokumen dalam softfile, lalu dokumen softfile tersebut akan diubah menjadi digital talking book yang dapat didengarkan oleh para tuna netra sewaktu-waktu. Inovasi tersebut diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi pemerintah, masyarakat maupun instansi pendidikan lainnya agar turut berpartisipasi terhadap kepedulian mengatasi kesenjangan teknologi yang dirasakan oleh kaum difabel.

DAFTAR PUSTAKA

Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consquences of ITCs, Sage Publication Ltd. London.

Utami, Nadia Wasta. “Gelap dalam Gemerlap Kesenjangan Informasi Para Difabel di Era Globalisasi”.https://www.academia.edu/5404179/Gelap_dalam_Gemerlap_kesenjangan_akses_informasi_difabel_di_tengah_era_digitalisasi?ends_sutd_reg_path=true, Diakses pada Selasa, 20 Maret 2018.

1 komentar:

  1. Playtech launches mobile app for PC and mobile in India
    Playtech 안산 출장안마 has released its first 속초 출장안마 Android mobile betting 순천 출장마사지 app. For the first time, customers can bet 과천 출장마사지 on the number of outcomes of matches in their 제주 출장안마

    BalasHapus