Di era digitalisasi yang kian marak dimanfaatkan oleh
hampir seluruh masyarakat di setiap negara. Kemudahan mengakses informasi
melalui teknologi internet ini berdampak juga terhadap mudahnya mengatasi
permasalahan dikehidupan sehari-hari dengan waktu yang singkat. Setiap orang
kini seakan-akan memiliki kesempatan untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya
dengan menggunakan teknologi internet. Namun, ditengahnya keramaian dunia
digitalisasi sadarkah kalian bahwa terdapat satu kelompok tertentu yang masih belum
memiliki kesempatan yang ‘sama besarnya’ untuk memanfaatkan teknologi
komunikasi dan akses jaringan internet saat ini? Ya, kelompok tersebut adalah kaum
difabel atau kelompok penyandang berkebutuhan khusus. Kata difabel yang merupakan kepanjangan dari kata different
ability people atau yang bisa diartikan sebagai ‘masyarakat yang berdaya
beda’, menurut WHO (World Health Organization) adalah istilah yang meliputi
gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Kaum tuna netra
yang akan dibahas dalam topik kali ini juga termasuk dalam kelompok difabel,
karena seseorang yang menyandang tuna netra memiliki keterbatasan fisik
khususnya dalam indra penglihatan. Kelompok difabel sendiri memiliki jenis dan
kategori yang berbeda-beda, antara lain
yaitu
1.
Tuna netra, seseorang yang memiliki keterbatasan
pada indra penglihatan,
2.
Tuna daksa, yaitu seseorang yang
memiliki keterbatasan pada anggota gerak,
3.
Tunarungu, yaitu seseorang yang memiliki
keterbatasan terhadap indra pendengaran,
4.
Tuna wicara, seseorang yang memiliki keterbatasan
fisik dalam berbicara, dan
5.
Tuna grahita, yaitu seseorang yang
memiliki keterbatasan mental.
Kesulitan mendapatkan
informasi melalui media internet yang dirasakan oleh kelompok difabel di atas
tentu berdampak pada munculnya kesenjangan teknologi (digital divide) antara kaum difabel dengan masyarakat biasa yang
mungkin lebih beruntung dalam kesempurnaan fisik. Istlah kesenjangan teknologi
atau digital divide pertama kali diperkenalkan oleh sebuah
badan pemerintah federal AS yang mengurusi bidang telekomunikasi dan informasi
yang terdapat di dalam laporannya The National Telecommunication and
Information Administration (NTIA) dan membagi warga di suatu negara dibagi
menjadi dua jenis, yaitu mereka yang ‘memiliki’ akses terhadap teknologi
komunikasi dan mereka yang ‘tidak memiliki’ akses yang sama terhadap teknologi
komunikasi, seperti yang dialami oleh para kaum difabel. Kesenjangan teknologi
yang dirasakan oleh kaum difabel tersebut pasti berdampak pada psikologis
mereka, yaitu munculnya rasa kecemburuan sosial. Selain itu, dampak lainnya
dari kesenjangan teknologi digital di suatu negara yaitu minimnya pengetahuan,
khususnya para kaum difabel yang tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh
informasi sebanyak-banyaknya melalui media internet. Permasalahan tentang
kesempatan untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya sebenarnya sudah diatur
oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam pasal
14 Undang-Undang yang berbunyi:
1. Setiap
orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
2. Setiap
orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.
Bahkan pemerintah juga membuat undang-undang
tersendiri khusus bagi para kaum difabel, khususnya kaum tuna netra yang akan
menjadi topik pembahasan ini. Undang-undang tersebut ialah UU No. 4 Pasal 5
tahun 1997 “Setiap penyandang cacat
memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam setiap aspek kehidupan dan
penghidupan”. Selain itu, dibuat juga Undang-undang
Telekomunikasi bagian 225 yang mewajibkan penyedia layanan dan peralatan
telekomunikasi memproduksi barang atau jasanya agar bisa diakses oleh individu
penyandang disabilitas. Dengan dibuatnya undang-undang perlindungan kaum
difabel tersebut seharusnya dapat membuka kesempatan yang luas bagi kelompok
difabel, khususnya kaum tuna netra. Namun, sepertinya pemerintah Indonesia dan
masyarakatnya sendiri masih belum menyadari betapa pentingnya kemudahan
teknologi bagi para difabel, terlebih kin semakin majunya dunia digitalisasi
dan teknologi diharapkan dapat membantu menciptakan sebuah inovasi khusus bagi
para difabel.
Jika mungkin beberapa waktu yang lalu sempat viral sebuah
berita tentang seorang youtuber yang
menjadi inspirasi bagi para youtuber
lainnya untuk melengkapi video hasil karya mereka dengan menambahkan subtitle di bawahnya maka akan
mempermudah penyandang tuna rungu agar mereka dapat memahami setiap pesan yang
disampaikan setiap youtuber dalam
video yang mereka unggah. Bahkan pada tahun 1990 American Disabilities Act telah memebuat
sebuah perencanaan untuk mengurangi keterbatas tersebut dengan mewajibkan
layanan penyediaan akses komunikasi untuk orang tua tuna rungu di Amerika bagi
semua operator jaringan (Borchert, 1998). Lantas, pernahkah kalian
berfikir bagaimana dengan nasib tuna netra yang memiliki keterbatasan indra
penglihatan dan menginginkan hal serupa, yaitu menndapat informasi melalui
jaringan internet padahal sebagian besar informasi yang ada di media internet
berupa tulisan dan gambar? Salah satu cara yang sudah kita ketahui untuk
membantu kaum tuna netra dalam memperoleh informasi yaitu melalui buku bacaan
yang mengandung huruf braille. Namun,
kini kita dapat membayangkan betapa masih minimnya atau bahkan mungkin belum ada
tulisan-tulisan informasi yang ada di internet dengan menggunakan huruf braille sehingga para tuna netra bisa
ikut membacanya juga. Selain itu, perpustakaan di berbagai sekolah dan
universitas juga masih belum memiliki akses serupa bagi para tuna netra. Hal tersebut
menyebabkan kaum tuna netra merasa kesulitan untuk memperoleh pengetahuan di
sekolah maupun universitas umum.
Di samping masih minimnya
kesadaran akan kepedulian terhadap kaum difabel serta belum tersedinya layanan
khusus bagi penyandang disabilitas yang ingin merasakan kemajuan teknologi dan
kemudahan informasi, muncul sebuah inovasi penyelenggaraan fasilitas khusus
difabel yang diberi nama Difabel Corner
yang datang dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Fasilitas Difabel
Corner tersebut dibuat dengan tujuan
untuk memudahkan mahasiswa difabel, khususnya mahasiswa tua netra yang selama
ini merasa kesulitan mendapatkan pengetahuan, baik melalui buku bacaan di
perpustakaan maupun di media internet. Di dalam Difabel Corner terdapat Al
qur’an dalam huruf braille, digital
talking book agar para tuna netra dapat mendengarkan apa saja isi yang ada
di dalam buku tersebut, dan alat bantu teknologi komputer yang dilengkapi Jaws
(pembaca layar) untuk membantu tuna netra dalam mencari menu dan memudahkan mengakses
buku di dalam komputer, scanner dan software open book atau software
optic character recognation (OCR) yang dapat digunakan oleh para tuna netra
untuk memindai buku yang mereka pinjam di perpustakaan atau yang mereka bawa
dari rumah menjadi dokumen dalam softfile,
lalu dokumen softfile tersebut akan
diubah menjadi digital talking book
yang dapat didengarkan oleh para tuna netra sewaktu-waktu. Inovasi tersebut
diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi pemerintah, masyarakat maupun instansi
pendidikan lainnya agar turut berpartisipasi terhadap kepedulian mengatasi kesenjangan
teknologi yang dirasakan oleh kaum difabel.
DAFTAR PUSTAKA
Lievrouw,
Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of New Media : Social Shaping
and Social Consquences of ITCs, Sage Publication Ltd. London.
Utami, Nadia Wasta. “Gelap dalam
Gemerlap Kesenjangan Informasi Para Difabel di Era Globalisasi”.https://www.academia.edu/5404179/Gelap_dalam_Gemerlap_kesenjangan_akses_informasi_difabel_di_tengah_era_digitalisasi?ends_sutd_reg_path=true,
Diakses pada Selasa, 20 Maret 2018.
Playtech launches mobile app for PC and mobile in India
BalasHapusPlaytech 안산 출장안마 has released its first 속초 출장안마 Android mobile betting 순천 출장마사지 app. For the first time, customers can bet 과천 출장마사지 on the number of outcomes of matches in their 제주 출장안마