Selasa, 13 Maret 2018

IDENTITAS PALSU DALAM KOMUNITAS VIRTUAL, BERBAHAYA KAH?


Komunitas Virtual muncul dan semakin meluas akibat perkembangan teknologi komunikasi. Perkembang pesat serta maraknya komunitas virtual di era millenial ini sangat dipengaruhi oleh kemajuan akses internet yang pesat. Komunitas virtual sendiri dicetuskan pertama kali oleh Howard Rheingold, yaitu seorang kritikus terkenal, penulis, dan seorang guru kelahiran Phoenix, Arizona dalam bukunya yang berjudul “The Virtual Community: Homesteading on the Electronic Frontier (2000). Ia menjelaskan bagaimana karakteristik dari orang-orang di komunitas virtual yang melakukan interaksi, saling bertukar pesan, atau bahkan bisa saling merasakan permusuhan dan jatuh cinta hanya melalui media yang terhubung jaringan internet saja.
Namun, yang menjadi perbedaan antara komunitas virtual dengan komunitas biasa atau komunitas organik ialah orang-orang yang tergabung didalamnya hanya dapat berinteraksi melalui media tanpa bisa merasakan sentuhan dan bau lawan bicara mereka. Orang-orang yang terlibat dalam komunitas virtual merupakan orang-orang yang tidak dapat dipastikan secara jelas siapa identitas asli mereka, berapa usianya, bagaimana wajahnya, bagaimana bentuk tubuh dan fisik mereka sebenarnya sebab dengan semakin canggihnya teknologi dan semakin bertambah kemampuan masyarakat dalam mengelola teknologi, kini banyak sekali masyarakat yang menyembunyikan atau memalsukan identitas mereka dalam suatu kelompok di dunia maya. Komunitas Virtual memberikan peluang lebih orang-orang dapat berinteraksi dalam suatu kelompok tanpa perlu khawatir terhadap batas-batas ruang dan waktu.
Meskipun anggota komunitas virtual dapat dikatakan bersifat heterogen karena terdiri dari orang-orang yang berasal dari berbagai macam daerah serta kebudayaan, tetapi kini kita dapat mengamati bagaimana orang-orang lebih menyukai kedekatan dan kenyamanan mereka berada di komunitas virtual dibandingkan dengan berada di komunitas organik atau komunitas nonvirtual. Sebagian masyarakat banyak yang menganggap bahwa komunitas virtual merupakan sebuah komunitas yang sifatnya semu. Komunitas virtual seakan tidak nyata dan tidak pernah ada, atau hanya dianggap sebagai ilusi yang diciptakan akibat interaksi yang dilakukan melalui media internet. Namun, kini banyak masyarakat yang telah menyadari bagaimana interaksi dan hubungan yang terjalin dalam komunitas virtual merupakan hal yang sangat nyata. Kedekatan hubungan yang terjalin, besarnya intensitas interaksi yang terjalin antar anggota di komunitas virtual dapat menghasilkan sebuah rasa kenyamanan sehingga para anggotanya menganggap bahwa kedekatan mereka di dunia cyber, terutama di komunitas virtual, bukanlah hal yang semu.
Komunitas virtual yang memiliki ikatan erat terhadap dunia cyber, memungkinkan setiap anggotanya dapat bergerak dan berperilaku secara bebas. Pasalnya, di ruang cyber lah orang-orang bisa mengkonstruksi bagaimana dirinya dan identitasnya akan dibentuk menjadi siapapun yang mereka inginkan.selain itu, dunia cyber telah meningkatkan kemampuan masyarakat millennial untuk mengkreasikan bagaimana perilakunya sehingga setiap individu dapat berperilaku sesuai dengan peran yang mereka bentuk di dunia maya. Oleh karena itu, tak heran jika kini banyak sekali orang yang menciptakan sendiri identitas dirinya di dunia maya, khususnya jika tergabung dalam suatu komunitas virtual. Identitas individu di komunitas virtual itu ada yang sesuai dengan identitas aslinya di dunia nyata, maupun identitas yang jauh berbeda dengan identitas aslinya di dunia nyata, atau dengan kata lain melakukan pemalsuan identitas.
Hal itu sesuai dengan pendapat dari Tim Jordan (1999, 62-87) yang menjelaskan bahwa terdapat tiga pokok dasar kekuatan dari setiap individu dalam komunitas virtual di dunia cyber. Ketiga pokok kekuatan tersebut, antara lain yaitu identity fluidity, yaitu identitas yang dibentuk oleh individu secara virtual yang tidak sama persis atau hanya mendekati identitas aslinya di dunia nyata, renovated hierarchies, yaitu sebuah proses yang menciptakan sebuah hierarki di dunia nyata untuk dibentuk kembali dalam dunia virtual, dan yang terakhir yaitu informational space, merupakan sebuah informasi yang dihasilkan untuk menggambarkan bagaimana realita yang hanya ada di dunia virtual.
Jika berbicara mengenai tentang identitas palsu pada komunitas virtual,mungkin masih banyak masyarakat yang belum percaya tentang terjadinya fenomena ini. Namun, jika diamati lebih lanjut, maka fenomena pemalsuan identitas di suatu komunitas virtual tersebut ternyata sudah merebak di masyarakat dan belum diketahui banyak orang. Terjadinya fenomena tersebut berkaitan dengan pengalaman menarik yang pernah saya alami beberapa waktu lalu. Pengalaman tersebut menimpa dua teman dekat saya, dimana satu orang berperan sebagai pelaku pemalsu identitas, sedangkan teman saya yang lainnya merupakan korban pemalsuan identitas tersebut.
Jauh sebelum saya memiliki pemahaman mengenai komunitas virtual, teman saya membagikan ceritanya pada saya bahwa ia baru saja mengalami penipuan identitas. Kejadian tersebut berawal dari pertemuannya dengan seorang perempuan yang membuat ia tertarik di sebuah media sosial, twitter. Pertama teman saya melihat akun twitter wanita tersebut pada kolom rekomendasi followers di akun twitter-nya. Melihat foto profil yang dipasang melalui akun wanita tersebut sangat cantik dan menarik membuat hubungan keduanya berlanjut lebih jauh. Teman saya, mulai mengikuti akun twitter wanita itu kemudian mengirim pesan melalui direct message di twitter. Setelah keduanya berinteraksi melalui direct message selama hampir satu minggu lamanya, teman saya merasa tertarik dengan wanita tersebut. Saat ia akan meminta nomor telepon agar hubungan mereka dapat terjalin lebih intim, tiba-tiba akun wanita tersebut hilang. Kemudian ia berusaha mencari kemana akun wanita tersebut, ternyata secara mengejutkan akun itu berganti menjadi akun twitter sebuah online shop. Akun tersebut ternyata merupakan akun bodong atau akun palsu yang menggunakan foto serta identitas orang lain yang dikelola oleh beberapa orang untuk mendapatkan followers sebanyak-banyaknya untuk kemudian dijual dengan harga tinggi. Semakin banyak followers yang diperoleh maka harga jualnya akan semakin tinggi. Pembeli akun bodong tersebut biasanya adalah para pengusaha di dunia online (online shop), sebab semakin banyak followers yang dimilikinya, maka semakin menarik minat dan kepercayaan pembeli.
Sedangkan teman saya yang berperilaku sebagai pelaku pemalsu identitas, melakukan berbagai cara agar dirinya dapat tampil menarik di dunia maya. Sebelum ia berinteraksi dengan orang-orang di sebuah media sosial, ia mengedit fotonya terlebih dahulu menjadi lebih kurus dan putih sebelum dijadikan foto profil. Setelah saya menanyakan mengapa ia terus melakukan hal tersebut, ia mengatakan bahwa dirinya hanya dapat tampil percaya diri jika berhadapan di dunia maya. Orang-orang di dunia virtual akan merasa tertarik dan mengelilingi dirinya jika ia memiliki penampilan fisik seperti identitas yang telah ia ciptakan di dunia virtual.
Kedua contoh pengalaman di atas dapat memberikan pelajaran tentang seberapa jauh bahaya yang dapat ditimbulkan akibat pemalsuan identitas di komunitas virtual. Selama para pelaku tidak merugikan orang lain, maka hal itu tidak perlu dirisaukan. Tetapi sebelum hal yang merugikan terjadi, maka sebaiknya kita mengenali lebih jauh agar tidak mengalami penipuan.



DAFTAR PUSTAKA

Arul. "Identitas Virtual di Internet". https://www.kompasiana.com/kangarul/identitas-virtual-di-internet_54ffcac2a33311ea4a5115df. Diakses pada, Selasa, 13 Maret 2018.


Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consquences of ITCs, Sage Publication Ltd. London.



0 komentar:

Posting Komentar