Komunitas Virtual muncul dan semakin meluas akibat
perkembangan teknologi komunikasi. Perkembang pesat serta maraknya komunitas
virtual di era millenial ini sangat dipengaruhi oleh kemajuan akses internet
yang pesat. Komunitas virtual sendiri dicetuskan pertama kali oleh Howard
Rheingold, yaitu seorang kritikus terkenal, penulis, dan seorang guru kelahiran
Phoenix, Arizona dalam bukunya yang berjudul “The Virtual Community: Homesteading on the Electronic Frontier
(2000). Ia menjelaskan bagaimana karakteristik dari orang-orang di komunitas
virtual yang melakukan interaksi, saling bertukar pesan, atau bahkan bisa
saling merasakan permusuhan dan jatuh cinta hanya melalui media yang terhubung
jaringan internet saja.
Namun, yang menjadi perbedaan antara komunitas
virtual dengan komunitas biasa atau komunitas organik ialah orang-orang yang
tergabung didalamnya hanya dapat berinteraksi melalui media tanpa bisa
merasakan sentuhan dan bau lawan bicara mereka. Orang-orang yang terlibat dalam
komunitas virtual merupakan orang-orang yang tidak dapat dipastikan secara
jelas siapa identitas asli mereka, berapa usianya, bagaimana wajahnya,
bagaimana bentuk tubuh dan fisik mereka sebenarnya sebab dengan semakin
canggihnya teknologi dan semakin bertambah kemampuan masyarakat dalam mengelola
teknologi, kini banyak sekali masyarakat yang menyembunyikan atau memalsukan
identitas mereka dalam suatu kelompok di dunia maya. Komunitas Virtual
memberikan peluang lebih orang-orang dapat berinteraksi dalam suatu kelompok
tanpa perlu khawatir terhadap batas-batas ruang dan waktu.
Meskipun anggota komunitas virtual dapat dikatakan
bersifat heterogen karena terdiri dari orang-orang yang berasal dari berbagai
macam daerah serta kebudayaan, tetapi kini kita dapat mengamati bagaimana
orang-orang lebih menyukai kedekatan dan kenyamanan mereka berada di komunitas
virtual dibandingkan dengan berada di komunitas organik atau komunitas
nonvirtual. Sebagian masyarakat banyak yang menganggap bahwa komunitas virtual
merupakan sebuah komunitas yang sifatnya semu. Komunitas virtual seakan tidak
nyata dan tidak pernah ada, atau hanya dianggap sebagai ilusi yang diciptakan akibat
interaksi yang dilakukan melalui media internet. Namun, kini banyak masyarakat yang
telah menyadari bagaimana interaksi dan hubungan yang terjalin dalam komunitas
virtual merupakan hal yang sangat nyata. Kedekatan hubungan yang terjalin,
besarnya intensitas interaksi yang terjalin antar anggota di komunitas virtual
dapat menghasilkan sebuah rasa kenyamanan sehingga para anggotanya menganggap
bahwa kedekatan mereka di dunia cyber,
terutama di komunitas virtual, bukanlah hal yang semu.
Komunitas virtual yang memiliki ikatan erat terhadap
dunia cyber, memungkinkan setiap
anggotanya dapat bergerak dan berperilaku secara bebas. Pasalnya, di ruang cyber lah orang-orang bisa
mengkonstruksi bagaimana dirinya dan identitasnya akan dibentuk menjadi
siapapun yang mereka inginkan.selain itu, dunia cyber telah meningkatkan kemampuan masyarakat millennial untuk
mengkreasikan bagaimana perilakunya sehingga setiap individu dapat berperilaku
sesuai dengan peran yang mereka bentuk di dunia maya. Oleh karena itu, tak
heran jika kini banyak sekali orang yang menciptakan sendiri identitas dirinya
di dunia maya, khususnya jika tergabung dalam suatu komunitas virtual. Identitas
individu di komunitas virtual itu ada yang sesuai dengan identitas aslinya di
dunia nyata, maupun identitas yang jauh berbeda dengan identitas aslinya di
dunia nyata, atau dengan kata lain melakukan pemalsuan identitas.
Hal itu sesuai dengan pendapat dari Tim Jordan
(1999, 62-87) yang menjelaskan bahwa terdapat tiga pokok dasar kekuatan dari
setiap individu dalam komunitas virtual di dunia cyber. Ketiga pokok kekuatan tersebut, antara lain yaitu identity fluidity, yaitu identitas yang
dibentuk oleh individu secara virtual yang tidak sama persis atau hanya
mendekati identitas aslinya di dunia nyata, renovated
hierarchies, yaitu sebuah proses yang menciptakan sebuah hierarki di dunia
nyata untuk dibentuk kembali dalam dunia virtual, dan yang terakhir yaitu informational space, merupakan sebuah
informasi yang dihasilkan untuk menggambarkan bagaimana realita yang hanya ada
di dunia virtual.
Jika berbicara mengenai tentang identitas palsu pada
komunitas virtual,mungkin masih banyak masyarakat yang belum percaya tentang terjadinya
fenomena ini. Namun, jika diamati lebih lanjut, maka fenomena pemalsuan
identitas di suatu komunitas virtual tersebut ternyata sudah merebak di
masyarakat dan belum diketahui banyak orang. Terjadinya fenomena tersebut berkaitan
dengan pengalaman menarik yang pernah saya alami beberapa waktu lalu. Pengalaman
tersebut menimpa dua teman dekat saya, dimana satu orang berperan sebagai
pelaku pemalsu identitas, sedangkan teman saya yang lainnya merupakan korban
pemalsuan identitas tersebut.
Jauh sebelum saya memiliki pemahaman mengenai
komunitas virtual, teman saya membagikan ceritanya pada saya bahwa ia baru saja
mengalami penipuan identitas. Kejadian tersebut berawal dari pertemuannya
dengan seorang perempuan yang membuat ia tertarik di sebuah media sosial, twitter. Pertama teman saya melihat akun
twitter wanita tersebut pada kolom
rekomendasi followers di akun twitter-nya. Melihat foto profil yang
dipasang melalui akun wanita tersebut sangat cantik dan menarik membuat
hubungan keduanya berlanjut lebih jauh. Teman saya, mulai mengikuti akun
twitter wanita itu kemudian mengirim pesan melalui direct message di twitter.
Setelah keduanya berinteraksi melalui direct
message selama hampir satu minggu lamanya, teman saya merasa tertarik
dengan wanita tersebut. Saat ia akan meminta nomor telepon agar hubungan mereka
dapat terjalin lebih intim, tiba-tiba akun wanita tersebut hilang. Kemudian ia
berusaha mencari kemana akun wanita tersebut, ternyata secara mengejutkan akun
itu berganti menjadi akun twitter
sebuah online shop. Akun tersebut
ternyata merupakan akun bodong atau akun palsu yang menggunakan foto serta
identitas orang lain yang dikelola oleh beberapa orang untuk mendapatkan followers sebanyak-banyaknya untuk
kemudian dijual dengan harga tinggi. Semakin banyak followers yang diperoleh maka harga jualnya akan semakin tinggi. Pembeli
akun bodong tersebut biasanya adalah para pengusaha di dunia online (online shop), sebab semakin banyak followers yang dimilikinya, maka semakin menarik minat dan
kepercayaan pembeli.
Sedangkan teman saya yang berperilaku sebagai pelaku
pemalsu identitas, melakukan berbagai cara agar dirinya dapat tampil menarik di
dunia maya. Sebelum ia berinteraksi dengan orang-orang di sebuah media sosial,
ia mengedit fotonya terlebih dahulu menjadi lebih kurus dan putih sebelum dijadikan
foto profil. Setelah saya menanyakan mengapa ia terus melakukan hal tersebut,
ia mengatakan bahwa dirinya hanya dapat tampil percaya diri jika berhadapan di
dunia maya. Orang-orang di dunia virtual akan merasa tertarik dan mengelilingi
dirinya jika ia memiliki penampilan fisik seperti identitas yang telah ia
ciptakan di dunia virtual.
Kedua contoh pengalaman di atas dapat memberikan pelajaran
tentang seberapa jauh bahaya yang dapat ditimbulkan akibat pemalsuan identitas
di komunitas virtual. Selama para pelaku tidak merugikan orang lain, maka hal
itu tidak perlu dirisaukan. Tetapi sebelum hal yang merugikan terjadi, maka
sebaiknya kita mengenali lebih jauh agar tidak mengalami penipuan.
DAFTAR PUSTAKA
Arul. "Identitas Virtual di
Internet". https://www.kompasiana.com/kangarul/identitas-virtual-di-internet_54ffcac2a33311ea4a5115df. Diakses pada,
Selasa, 13 Maret 2018.
Lievrouw, Leah A.
& Sonia Livingstone. 2006, Handbook
of New Media : Social Shaping and Social Consquences of ITCs, Sage
Publication Ltd. London.
0 komentar:
Posting Komentar