Selasa, 27 Maret 2018

Gamers: Generasi Anti Sosial?



Bermain game nampaknya sudah menjadi budaya yang melekat bagi sebagian besar masyarakat di seluruh dunia. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa seakan telah kecanduan bermain game, terlebih kini dengan hadirnya gadget membuat frekuensi munculnya game dengan berbagai jenis semakin meningkat, seperti game racingsportrole-playingfighting dan puzzle. Tak mengherankan jika sekarang kita sering menemui anak-anak dibawah umur yang sudah mahir dalam bermain game, khususnya game online. Game online merupakan sebuah permainan yang dapat diakses oleh beberapa pemain, dengan menggunakan mesin-mesin yang dihubungkan oleh internet (Adams & Rollings, 2007). Jika pada zaman dulu, setiap sore banyak anak-anak yang berkumpul untuk bermain permainan tradisional bersama-sama, seperti sunda manda, gobak sodor, petak umpet, dan sebagainya, kini pemandangan tersebut sudah tergantikan oleh banyaknya anak-anak yang berkumpul untuk saling beradu game online lewat smartphone yang mereka miliki.

Sebagaimana data penelitian yang telah dilakukan oleh Unity Technologies terkait perkembangan pasar game mobile dunia sepanjang tahun 2016. Dalam laporan penelitian kerjasama antara Unity Technologies dengan perusahaan analitik SuperData itu disebutkan bahwa pemasukan industri game mobile global telah mencapai US$40,6 miliar atau sekitar Rp 541 triliun pada tahun 2016. Data hasil laporan penelitian tersebut telah membuktikkan bahwa terjadi peningkatan sebesar lima belas persen dari pencapaian tahun sebelumnya yang menyentuh angka  US$ 34,8 miliar atau sekitar Rp 480 triliun. Salah satu faktor terjadinya peningkatan industri game mobile global ini disebabkan oleh pertumbuhan angka pendapatan dari platform Android, yang mengalami kenaikan hingga 32 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Meningkatnya game mobile tersebut bukan hanya terjadi di luar negeri saja, justru di Indonesia sendiri permainan game online yang didominasi oleh anak-anak sebagai pemainnya kini sudah menjamur hingga ke berbagai daerah. Hal itu dibuktikkan dengan prediksi Badan Ekonomi Kreatif Indonesia bahwa nilai pasar game di Indonesia akan mengalami peningkatan yang pesat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2016, pasar game yang ada di Indonesia hampir menembus angka US$700 juta atau jika dirupiahkan sekitar Rp 9,3 triliun. Game online muncul pertama kali di Indonesia tahun 2001 melalui Nexian Online yang kemudian dikembangkan lagi hingga pada saat ini telah banyak beredar game online dengan berbagai jenis. Meningkatnya pasar game online di Indonesia tersebut menyebabkan masyarakat Indonesia yang semakin sering mengkonsumsi game online bahkan telah sampai pada tahap kecanduan. Seperti yang dijelaskan oleh Director PT. Megaxus Infotech dalam peluncuran Heroes of Atarsia, Eva Mulawati. Ia menjelaskan bahwa jumlah pemain game online di Indonesia meningkat antara 5%-10% setiap tahunnya, salah satu faktor penyebab dari bertambahnya pemain game online, atau yang kini lebih akrab disebut dengan gamers, yaitu karena semakin pesatnya infrastruktur internet di dunia, khususnya di Indonesia.

Namun tahukah kalian dengan semakin berkembangnya pasar game online di Indonesia sebagai sarana hiburan ternyata telah membawa berbagai dampak negatif yang tidak sedikit, lho. Bermain game online secara berlebihan atau jika sudah sapai pada taraf kecanduan tentunya akan membawa kerugian bagi diri sendiri dan orang lain, baik secara materiil maupun nonmateriil. Terlebih kini peminat game online sendiri lebih banyak anak-anak hingga remaja yang daya mentalnya masih dibilang labil. Efek negatif yang ditimbulkan oleh para pecandu game online atau gamers, antara lain yaitu berbahaya bagi kesehatan tubuh yang dibuktikkan dengan banyaknya penemuan studi klinis tentang fenomena ‘Nintendo Elbow’ dan epilepsi yang disebabkan game komputer (Griffiths, 1996). Kemudian, efek yang kedua yaitu meningkatnya perilaku kekerasan dalam video game yang ditiru oleh anak-anak. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat dari Provenzo (1991) bahwa semakin ‘realistis’ efek gambar dalam game dan website, maka akan semakin mendukung anak untuk meniru perilaku tersebut.

Selain kedua efek negatif di atas, ternyata masih ada satu lagi dampak dari kecanduan game online yang paling menonjol, khususnya di kalangan anak-anak yaitu perilaku yang cenderung mengarah pada perilaku anti sosial, seperti yang dikemukakan oleh Tobin (1998) bahwa perkembangan teknologi dan penggunaan secara terus menerus akan menyebabkan anak-anak menjadi berperilaku apatis atau anti sosial yang tidak memiliki kepedulian terhadap sekelilingnya. Selain itu, hubungan antara norma sosial yang dimiliki anak-anak menjadi renggang sehingga interaksi antara orang tua dengan anak juga mengalami kekacauan. Anak-anak juga akan lebih menyukai dan memilih untuk berinteraksi serta menjalin hubungannya dengan orang-orang baru melalui dunia virtualnya. Pendapat dari Tobin (1998) tersebut rupanya bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh University of Queensland. Penelitian ini membagi 160 objek penelitian dengan rentang usia sekitar 17-43 tahun ke dalam empat kelompok game untuk dimainkan secara acak. Kelompok pertama yaitu memainkan game anti-sosial (GTA IV), kelompok kedua memainkan game berjenis kekerasan (COD: Black Ops Zombie Mode)kelompok ketiga memainkan game tanpa kekerasan (Portal 2) dan kelompok terakhir memainkan game pro-sosial (World of Goo) selama 20 menit. Setelah permainan berakhir, objek penelitian tersebut mengikuti tes mengenai kemampuan sosial mereka. Dengan hasil yang mengejutkan, penelitian ini membuktikan bahwa baik game yang mengandung kekerasan maupun tanpa kekerasan tidak membawa dampak yang cukup signifikan terhadap perilaku sosial mereka di masyarakat.

Dengan adanya dua perbandingan perbedaan pendapat di atas, maka bagaimanapun dampak dari penggunaan game online terhadap perilaku serta kepribadian pemainnya (gamers), khususnya di kalangan anak-anak, semuanya tergantung dari bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh para orang tua, dan kerabat dekatnya terhadap intensitas penggunaan game online yang dimainkan oleh anak-anak. Hal tersebut terjadi karena orang tua memiliki peran yang cukup besar pada tumbuh kembang anak, baik itu berupa pengawasan orang tua terhadap aktivitas anaknya, maupun perilaku orang tua yang mudah ditirukan oleh anak-anak.

Jadilah generasi bijak, dan mulailah peduli dengan lingkunganmu



DAFTAR PUSTAKA

Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consquences of ITCs, Sage Publication Ltd. London.  

Maulana, Rizky. “Tingkat Perkembangan Pasar Game Mobile Indonesia Tiga Kali Lipat Amerika Serikat”. https://id.techinasia.com/perkembangan-pasar-game-indonesia-salah-satu-yang-tertinggi-di-2016, Diakses pada Selasa 27 Maret 2018.

Herudin. “Ada 25 Juta Orang Indonesia Doyan Main Game Online”. http://www.tribunnews.com/iptek/2014/01/31/ada-25-juta-orang-indonesia-doyan-main-game-online, Diakses pada Selasa 27 Maret 2018.

Santoso, Pladidus. “Penelitian: Game Kejam Tak Buat Gamer Jadi Anti Sosial”. http://jagatplay.com/2013/07/news/penelitian-game-kejam-tak-buat-gamer-jadi-anti-sosial/, Diakses pada Selasa 27 Maret 2018.

0 komentar:

Posting Komentar